Postingan

Makna ”Minahasa”

Gambar
Data yang tersedia menunjukan, sampai sejauh ini, belum ditemukan sumber lain yang dapat menjelaskan siapa orang pertama yang menggunakan nama Min(a)hasa. Nama min(a)hasa ini sendiri, untuk pertama kalinya ditemukan dalam berkas laporan yang diduat oleh bekas Residen Manado, J.D. Schierstein. Berkas laporan ini tertanggal 8 Oktober 1789 yang ditulisnya untuk Gubernur Alexander Cornabe yang kala itu berkedudukan di Maluku. Hanya dalam laporan  itu ditemukan “kata min(a)hasa” yang kini digunakan sebagai simbol kebudayaan dan wilayah-administratif  orang Minahasa. Bila kita bandingkan pemaknaan kata min[a]hasa antara orang Minahasa yang terlahir abad ke 17 dan ke 18, dengan generasi seputaran abad ke 20 dan  21, kutipan berikut dapat menunjukan bedannya: “Bersama ini saya mengambil kebebasan untuk melaporkan dengan hormat kepada Paduka Tuan, bahwa “minhasa” atau musyawarah para ukung pada tanggal 1 bulan ini, telah menyelesaikan pertikaian antara Bantik dan Tateli menurut adat-istia

Pembentukan Jatidiri Masyarakat Sulut Melalui Aktualisasi Nilai-Nilai Luhur Budaya Daerah

Gambar
Seni budaya Daerah banyak mengandung nilai-nilai luhur, diantaranya kearifan-kearifan lokal yang sangat relevan untuk diimplementasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Namun dibalik keluhuran nilai itu, banyak pengalaman menunjukan bahwa perilaku hidup yang baik telah banyak dilupakan oleh pemiliknya. Akibatnya apabila terjadi sedikit gesekan, kita sudah saling membenci dan kehilangan kesetiakawanan. Situasi yang kurang tentram dan kurang nyaman menyelimuti kehidupan bermasyarakat dewasa ini salah satunya disebabkan oleh hilangnya kearifan hidup dan rasa saling menghormati satu sama lain. Situasi ini sementara kita rasakan bersama dibeberapa tempat di Indonesia baik konflik sosial maupun dalam peristiwa main hakim sendiri sehingga tindakan membunuh orang bukan lagi sesuatu yang luar biasa. Berbagai permasalahan, apakah itu bidang ekonomi, politik, hukum dan lain-lain yang telah meresahkan masyarakat diakibatkan oleh perbedaan antara harapan dan kenyataan / realita yang ada. Upaya

Ikrar Kesetiaan Membangun Karakter BANGSA

Gambar
Pergelaran / Pertunjukan Adat tidak saja sekedar refleksi budaya  masa lampau, tetapi dapat pula dipahami sebagai manifestasi kehidupan manusia masa kini. Dengan demikian maka, setiap aktivitas budaya termasuk pergelaran/pertunjukan upacara adat di watu Pinawetengan, watu Tumotowa, pergelaran seni dan pawai budaya setiap tanggal 7 Juli ini menjadi wahana pembelajaran sekaligus menjadi cerminan nilai yang dapat dimaknai dalam kehidupan manusia dari hari ke hari. Dalam kaitan dengan pemaknaan inilah kita bangun karakter Bangsa melalui pembentukan Jatidiri masyarakat Sulawesi Utara kedalam Bingkai Budaya MAESA-ESAAN, MESAWA-SAWANGAN, MALEO-LEOSAN.

Sekilas Yayasan Institut Seni Budaya Sulut

Gambar
7 Tahun sudah Yayasan Institut Seni Budaya Sulut (ISBSU) yang dulu dikenal sebagai Festival Seni Budaya Sulawesi Utara (FSBSU) telah berjalan dengan penuh dinamika, prestasi dan sensasi.  Dinamika sebab banyak hal yang tak terprogam dan tak terpikirkan tercetus bergulir sukses - yang mengundang decak kagum. Prestasi sebab banyak kegiatan maupun program festival YISBSU telah menoreh sejarah yang belum pernah terukir di bumi Nyiur Melambai. Sensasi, inilah festival yang melibatkan banyak orang dari berbagai lapisan kalangan tanpa memandang suku, agama dan status sosial.  ISBSU/FSBSU bergulir dengan landasan visi dan misi yang jelas; mengangkat derajat seni budaya ketataran yang semestinya dalam kerangka menuju masyarakat global yang berjatidiri lokal. Visi dan misi ini sangat pas dan sesuai dengan kebutuhan dan tantangan jaman. ! Dalam perjalanan  YISBSU/ FSBSU menuai berbagai pujian (subyektif maupun obyektif, kalau saya setiap komentar pujian saya cerna dalam kacamata positif). Sa

Kerukunan Modal Utama Sulut Membangun

Gambar
BEBERAPA daerah di Indonesia khususnya wilayah Indonesia Timur (Intim) tak lepas dari konflik horisontal antar warga atau biasa disebut kerusuhan. Bentrok antar warga yang 'berbau' pertentangan Suku, Agama dan Ras (SARA) tak jelas itu, begitu meremukkan semua sendi kehidupan masyarakat dalam satu daerah maupun dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Catatan hitam mengenai kerusahaan antar warga bisa dilihat sejak beberapa tahun kebelakang ini, seperti kerusuhan di Maluku, Ternate (Maluku Utara) dan Poso provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) pada medio 1998 silam. Tentunya konflik yang tak jelas akar permasalahannya itu, begitu merobek nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa, dimana nilai-nilai kemanusiaan, persaudaraan, serta cinta kasih sudah tak ada lagi, selain nafsu untuk saling membinasakan. Kabar terbaru, pada Selasa (12/05/12), Ambon untuk kesekian kalinya kembali digoyang konflik antar warga dalam peringatan hari ulang tahun Pattimura yang dilaksana

Musik Bambu Minahasa

Gambar
Musik BAMBU  Minahasa di mulai dari musik suling penthatonis lima lobang yang menjadi salahsatu alat musikdari ‘Musik Maoling ‘terdiri dari Kolintang gong ,tambur dan gong besar .Suling bambu kemukinan datang dari Ternate bersama Kolintang  gong (momongan) melalui perdagangan beras Minahasa sejak Jaman Portugis di Minahasa sampai jaman V.O.C. Belanda 1560 –1870 . Suling bambu lima nada terlihat pada gambar skestsa buku Ethnographische Miszelen Celebes . A.B. Meyer   ,O.Richter ,Dresden ,1902 . Tahun 1844 Zending Belanda berusaha menghapus alat musik gong di Minahasa dan menggantikannya dengan musik suling. Ketika Gubernemen Belanda  minta guru –guru Zending mengajar di sekolah Gubernemen, maka para guru  Zending mengajarkan lagu gerejani dengan solmisasi musik suling oktaf . Musik suling anak – anak sekolah dengan tiga suara di lihat oleh N. Graafland di Kawangkoan korps musik HINDIA BELANDA mengiringi pemberangkatan serdadu  Minahasa ke perang Jawa,tahun 1829 yang memakai alat mus

Musik Bia

Gambar
Musik Bia adalah salah satu musik tradisional yang hampir punah. Tak lain karena bahan baku alat musik ini, yakni lokan atau rumah kerang yang besar (penduduk setempat menyebutnya Bia) semakin langka diperoleh seiring perusakan ekologi yang menghancurkan habitat dari hewan pra sejarah ini. Itu pun masih ditambah dengan rumitnya pembuatan untuk menjadikannya sebagai alat musik yang dibutuhkan, rusak sedikit berarti terbuang sia-sia. Jenis musik aerophone (mengeluarkan bunyi dan iramanya bila dihembuskan udara) merupakan khas estetika musik masyarakat daerah pesisir. Seperti Likupang, Amurang, Tanawangko, Kema, dan pulau pulau di Sangihe, Sitaro dan Talaud. Namun bukan berarti masyarakat di pedalaman dan pegunungan tidak akrab dengan musik yang indah dan khas ini. Masyarakat di pedalaman Minahasa sejak lama menggunakan alat musik Bia yang disebut Pontuang dalam musik pengiring kerja mapalus, maupun sebagai alat komunikasi massa (untuk tanda bahaya). Lihat Video MUSIK BIA di