Sekilas Yayasan Institut Seni Budaya Sulut



7 Tahun sudah Yayasan Institut Seni Budaya Sulut (ISBSU) yang dulu dikenal sebagai Festival Seni Budaya Sulawesi Utara (FSBSU) telah berjalan dengan penuh dinamika, prestasi dan sensasi. 

Dinamika sebab banyak hal yang tak terprogam dan tak terpikirkan tercetus bergulir sukses - yang mengundang decak kagum. Prestasi sebab banyak kegiatan maupun program festival YISBSU telah menoreh sejarah yang belum pernah terukir di bumi Nyiur Melambai. Sensasi, inilah festival yang melibatkan banyak orang dari berbagai lapisan kalangan tanpa memandang suku, agama dan status sosial. 

ISBSU/FSBSU bergulir dengan landasan visi dan misi yang jelas; mengangkat derajat seni budaya ketataran yang semestinya dalam kerangka menuju masyarakat global yang berjatidiri lokal. Visi dan misi ini sangat pas dan sesuai dengan kebutuhan dan tantangan jaman. !

Dalam perjalanan  YISBSU/ FSBSU menuai berbagai pujian (subyektif maupun obyektif, kalau saya setiap komentar pujian saya cerna dalam kacamata positif). Saya mengutip beberapa komentar:

”Acara-acara yang digelar oleh panitia festival mengangdung pesan memanusiakan manusia. Ini bentuk kasih yang konkrit,” begitu komentar Ketua Sinode GMIM, ketika tim kecil panitia (Pak Joutje Lampa dan Jessy Wenas) bertatap muka di Kantor Sinode.

”Semua kegiatan dan peristiwa akbar ini berawal dari suatu ’wangsit’ dari seorang ayah asal Minahasa yang sudah lama merantau kepada anaknya untuk kembali ke ’tanah terjanji’ dari leluhurnya agar mendapatkan pengakuan jati diri sebagai seorang ’tou’. Wangsit ini sudah dikembangkan lewat pernyataan perhatiannya terhadap kesenian dan kebudayaan daerah ini serta cinta baktinya yang berorientasi kerakyatan untuk mengangkat harkat diri mereka. Sejauh yang saya ketahui, sepanjang sejarah propinsi ini belum pernah ada orang yang melaksanakan pelbagai kegiatan akbar sedemikian, hanya atas dasar pesan akhir orang tuanya; justru untuk hal ini, bila ada kemungkinan untuk memberikan Rekor MURI, menurut hemat saya, sungguh pantas, adil, layak, bila penghargaan ini diberikan kepada pak Benny Mamoto dan Ibu Rita .” begitu catatan Pastor Cardo Renwarin, Pr.  (pelopor/pencetus menjadikan Desa Kali sebagai laboratorium Desa Seni & Budaya)

Iverdixon Tinungki, Penggiat Kesenian/Penulis: Kita butuh kepribadian kenabian untuk melakukan gerakan membangun kebudayaan Sulawesi Utara. Dan melihat apa yang sudah digagas oleh Bapak Benny Josua Mamoto,  bagi saya, Bung Benny Mamoto ibarat seorang nabi kebudayaan yang hadir ditengah peradaban umat manusia yang kian semrawut.  Membangun kebudayaan masyarakat lokal daerah Sulawesi Utara merupakan upaya mulai untuk menegakkan budi pekerti umat manusia yang barangkali semakin salah arah memilah dan memilih aneka tawaran kehidupan bergaya modern. Apalagi di saat bangsa ini sedang berhadapan dengan berbagai gejolak kebudayaan global, yang bukan tak mungkin dapat menghilangkan identitas kebudayaan lokal tersebut, peran proaksi Penyelenggara Festival Seni Budaya Sulawesi Utara 2007 yang dipimpin Brigjen Pol.Benny Josua Mamoto, dapat dilihat sebagai bara api perjuangan putra bangsa Indonesia untuk menyalakan semangat membangun kebudayaan masyarakat secara kolektif di dalam mengembangkan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Karena itu, kerja keras yang diperlihatkan Benny Mamoto dalam membangun kebudayaan masyarakat Sulawesi Utara, sudah sepantasnya didukung secara sungguh-sungguh oleh berbagai kalangan. Kebudayaan pop yang semakin gila-gilaan menggilas kebudayaan tradisi warisan leluhur kita adalah suatu kenyataan yang kita hadapi bersama. Oleh sebab itu, kita pun harus bersyukur, di tengah situasi bangsa Indonesia yang serba mengambang dewasa ini, masih ada seorang Benny Mamoto yang berani tampil melakukan upaya perubahan dan pengembangan kebudayaan Sulawesi Utara. Sebab hanya orang-orang yang memiliki kepribadian kenabianlah yang rela dan tulus memberikan pelayanan kebudayaan bagi daerah Sulawesi Utara yang menurut catatan saya, kian diabaikan oleh pemerintah dan masyarakat setempat. (Dirangkum Frangky Kalumata)

Edwin Silangen, SE, Msi, sewaktu menjabat Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata  Sulawesi Utara: Perlu Kesadaran Bersama Untuk Membangun Kebudayaan Sulawesi Utara. Dan apa yang telah dibuat oleh Bapak Benny Josua Mamoto dengan Festival Seni Budaya Sulawesi Utara adalah salah satu bentuk kesadaran itu sendiri. Proaksi membangun kebudayaan yang dilakukan beliau merupakan suatu hal yang jarang diperlihatkan oleh figur yang berlatar belakang perwira polisi.  Memang semula, saya merasa janggal melihat kiprah Benny Mamoto. Beliau kan seorang polisi, apa hubungannya dengan kebudayaan? Namun, lama kelamaan setelah mendalami kegiatannya yang tak mengenal ’lelah’ dalam mengangkat seni dan budaya Sulawesi Utara, saya menemukan jawaban atas pertanyaan saya sendiri; bahwa tugas-tugas kepolisian memang berkaitan erat dengan kebudayaan masyarakat. Oleh karena itu, secara instansional maupun pribadi, saya sangat mendukung semua gerakan membangun kebudayaan Sulawesi Utara yang dilakukan Benny Mamoto atas  penyelenggaraan Festival Seni Budaya. Sebab, dengan demikian, upaya yang dilakukan tersebut, bukan hanya turut membantu tugas pemerintah tetapi lebih dari itu, diharapkan dapat membuka kesadaran bersama, bahwa gerakan membangun kebudayaan Sulawesi Utara merupakan hal penting yang tak bisa diabaikan. Saya salut dan menyampaikan apresiasi yang sedalam-dalamnya. (Dirangkum Frangky Kalumata)

Prof. DR. HT Usup, Tokoh Umat Islam/Pemerhati Kebudayaan: Hidup dengan berkebudayaan tidaklah sulit selama kesadaran tentang kebudayaan masih dimiliki oleh setiap manusia di mana pun dia berada. Sebaliknya, kebudayaan masyarakat, atau kebudayaan bangsa mana pun akan sirna ditelan kemajuan perkembangan zaman apabila kesadaran dari masyarakat itu sendiri akan pentingnya kebudayaan menipis. Sebab itu, kita patut bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang sudah mengutus seorang Kombes Pol. Benny Josua Mamoto yang telah melakukan gerakan membangun kebudayaan di daerah Nyiur Melambai ini.  Saya terkesima dengan gagasan Festival Tinutuan yang melibatkan lintas komunitas umat beragama. Ini ide kreatif dan sangat menyentuh. Tinutuan, asal kata tutu’ yang kemudian dipadankan menjadi Tinutuan. Ini menunjukkan kreatifitas budaya masyarakat Sulawesi Utara khususnya Minahasa dalam mengolah makanan bergizi. Dengan demikian pelaksanaan Festival Tinutuan dapat ditafsirkan sebagai upaya melestarikan nilai-nilai yang baik dan bermanfaat yang diwariskan leluhur kita. (Dirangkum Frangky Kalumata)

Masih banyak komentar-komentar lain seputar YISBSU yang tidak dapat saya muat disini satu-persatu. Namun selain pujian, dalam perjalanan YISBSU/FSBSU ada banyak yang mencibir, dan bahkan mencurigai kegiatan-kegiatan YISBSU/FSBSU sebagai ’kuda tunggangan’ memasuki arena politik. 

Komentar seperti ini saya cerna sebagai dinamika saja: Dari berbagi komentar ’miring’ atas terlaksananya FSBSU, ada satu statemen menarik yang saya dapat langsung dari figur seorang dosen, penyair, penulis, yang dulunya sangat militan dalam berkreasi namun belakangan masuk dalam arena politik sebagai konseptor salah satu ketua partai besar. 

Nara sumber tersebut tidak perlu saya sebutkan disini. Ia mengomentari dengan kalimat cetus: ”Untuk apa polisi urus-urus kebudayaan. Tahu apa beliau pada kebudayaan. Jangan-jangan dalam rangka Pilkada ngana pe bos itu. Kok MURI dan GWR dikait-kaitkan dengan seni budaya. Kalau ngana mau minta kita pe komentar, itu kita pe komentar!”. 

Komentar nara sumber tersebut menurut saya adalah cermin rusaknya cara berpikir sebagian masyarakat kita akibat eforia yang berlebihan  reformasi dan pendidikan politik yang salah kaprah daripada politikus -  yang selalu memandang niat baik, ketulusan aktivitas seseorang/intitusi selalu dalam konteks ’dalam rangka’ pilkada. 

Dan komentar-komentar seperti itu tak perlu dicounter/tanggapi secara langsung tetapi biarlah mengalir beracara dengan senyum khas Benny Mamoto. Toh waktu yang akan menjawab. Maju terus dan Sukses untuk Yayasan Institut Seni Budaya Sulut !! I yayat U Santi !

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat Sangihe: Madunde Dan Pahawo

Pelurusan Sejarah Manado

Tari Mahamba Bantik