Kerukunan Modal Utama Sulut Membangun




BEBERAPA daerah di Indonesia khususnya wilayah Indonesia Timur (Intim) tak lepas dari konflik horisontal antar warga atau biasa disebut kerusuhan. Bentrok antar warga yang 'berbau' pertentangan Suku, Agama dan Ras (SARA) tak jelas itu, begitu meremukkan semua sendi kehidupan masyarakat dalam satu daerah maupun dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Catatan hitam mengenai kerusahaan antar warga bisa dilihat sejak beberapa tahun kebelakang ini, seperti kerusuhan di Maluku, Ternate (Maluku Utara) dan Poso provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) pada medio 1998 silam. Tentunya konflik yang tak jelas akar permasalahannya itu, begitu merobek nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa, dimana nilai-nilai kemanusiaan, persaudaraan, serta cinta kasih sudah tak ada lagi, selain nafsu untuk saling membinasakan. Kabar terbaru, pada Selasa (12/05/12), Ambon untuk kesekian kalinya kembali digoyang konflik antar warga dalam peringatan hari ulang tahun Pattimura yang dilaksanakan dengan membawa obor. Kerusuhan antar warga di Ambon tersebut dipicu adanya oknum-oknum tak bertanggung jawab melakukan pelemparan terhadap warga lainnya yang sedang pawai. Untungnya, aparat kepolisian, pemerintah Ambon dan tokoh agama, masyarakat bisa mendamaikan.

Lepas dari semua itu, Sulawesi Utara (Sulut) terus memupuk rasa persaudaraan, kerukunan, persatuan dan kesatuan antar warga. Walau gesekan dan konflik warga dengan lebel tarkam atau perkelahian antar kampung juga mewarnai setiap kehidupan warga di beberapa daerah di Sulut, seperti terjadi baru-baru ini di wilayah Dumoga Bolaang Mongondow (Bolmong), yakni warga desa Tambun dan Desa Imandi Kecamatan Dumoga Timur, pada Kamis (03/05/12) lalu, dengan satu korban tewas (daerah tambang dan sering terjadi tarkam). Wilayah Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel), juga tak kalah gaungnya ketika beberapa hari menjadi headline pada berita-berita di media cetak maupun online, serta televisi lokal, ketika terjadi bentrokan antar warga desa Picuan, Sabtu (21/4/12) silam. Sebab, korbannya kali ini adalah beberapa mobil aparat Polres dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Minsel, dipicu akan ditangkapnya JK alias Jantje, tak lain tokoh masyarakat di desa tersebut. Tetapi kemudian bisa diredam aparat dan tokoh agama, pemerintah serta tokoh masyarakat agar tidak meluas. Melihat konflik antar warga dengan mudahnya terjadi, tentu hal itu menjadi pekerjaan rumah (PR), tidak hanya bagi aparat kepolisian, pemerintah, tetapi bagi semua warga Sulut.

Kalau melihat jauh kebelakang, DR Sam Ratulangi dengan filosofi hidupnya, "Si tou timou tumou tou" yang artinya manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia yang lain, adalah filosofi hidup yang sangat kental dengan penghargaan bagi nilai-nilai kemanusiaan. Tak heran, jika semangat DR Sam Ratulangi tersebut menjadi sangat dekat dengan slogan "Torang Samua Basudara" atau diartikan Kita Semua Bersaudara. Sehingga modal utama dan terutama dari "Torang Samua Basudara" tersebut, adalah kerukunan yang terbina baik selama ini di Sulut untuk membangun daerah yang bermartabat. Mengapa ? Jelas, ungkapan kalimat "Torang Samua Basudara' sudah menjadi nilai atau membudaya di dalam masayarakat Sulut, atau biasa disebut
warga kawanua.

Sedikit berteori, dalam Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas (dikutip), kata Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.[1] Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Sehingga jelas perkataan "Torang Samua Basudara" telah 'membumi' di negeri Nyiur Melambai dan sudah menjadi filosofi hidup bagi masyarakat Sulut, untuk terus mengikis berbedaan, pertentangan warga yang memecah belah serta meruntuhkan nilai-nilai yang sudah tertanam dari generasi lintas generasi di Sulut.  Sehingga kerukunan, persatuan dan kesatuan adalah modal utama untuk membangun  Sulut dan masyarakat sejahtera tanpa konflik dan selalu menjunjung perdamaian.
Hal ini sudah terbukti, dimana Sulut menjadi satu daerah teraman di Indonesia.
(***)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat Sangihe: Madunde Dan Pahawo

Pelurusan Sejarah Manado

Tari Mahamba Bantik