Makna ”Minahasa”



Data yang tersedia menunjukan, sampai sejauh ini, belum ditemukan sumber lain yang dapat menjelaskan siapa orang pertama yang menggunakan nama Min(a)hasa. Nama min(a)hasa ini sendiri, untuk pertama kalinya ditemukan dalam berkas laporan yang diduat oleh bekas Residen Manado, J.D. Schierstein. Berkas laporan ini tertanggal 8 Oktober 1789 yang ditulisnya untuk Gubernur Alexander Cornabe yang kala itu berkedudukan di Maluku. Hanya dalam laporan  itu ditemukan “kata min(a)hasa” yang kini digunakan sebagai simbol kebudayaan dan wilayah-administratif  orang Minahasa.

Bila kita bandingkan pemaknaan kata min[a]hasa antara orang Minahasa yang terlahir abad ke 17 dan ke 18, dengan generasi seputaran abad ke 20 dan  21, kutipan berikut dapat menunjukan bedannya:

“Bersama ini saya mengambil kebebasan untuk melaporkan dengan hormat kepada Paduka Tuan, bahwa “minhasa” atau musyawarah para ukung pada tanggal 1 bulan ini, telah menyelesaikan pertikaian antara Bantik dan Tateli menurut adat-istiadat mereka dan penegasan atau pernyataan perdamaian itu akan dilakukan kemudian dengan sumpah” (Lihat Godee E.C. Molsbergen, Geschiedenis Van den Minahasa tot 1829, Weltevreden: Landsdrukkerij, 1928, hal. 53, dan Bert Supit, Minahasa, dari Amanat Watu Pinawetengan sampai Gelora Minawanua, Sinar Harapan, Jakatra, 1986, hal.142.)


Tampak bahwa makna utama penggunaan kata “minhasa” dalam laporan tersebut sebenarnya menjelaskan  “proses musyawarah” yang diprakarsai oleh Residen J.D. Schierstein untuk mendamaikan konflik yang bergolak antar “ukung” dan “walak” dari sub-sub etnik: Tontemboan, Tombuluh, Tonsea, Tondano, Ponosakan, Pasan, Ratahan dan Bantik. Termasuk bentrokkan antara para ukung dan “walak dari kelompok sub-etnik Tondano dan Tonsawang. Informasi ini diulangi lagi oleh Bert Supit (1986:141) seperti berikut:

Perdamaian yang dicapai pada tanggal 9 Desember 1789, pada akhir bulan itu juga disahkan dengan cara adat; suatu prestasi yang gemilang dari Residen J.D. Schierstein. Penyelesaian dilakukannya melalui suatu musyawarah antar-ukung seluruh Minahasa yang diundang untuk menyelenggarakan suatu musyawarah besar. Dalam Musyawarah itu ia mengajak mereka untuk bersama dengan Kompeni, mendamaikan bentrokan antar-walak. Setelah usul ajakannya disetujui, dimintanya agar tiap-tiap ukung mengerahkan kekuatan dan bersama-sama dengan kompeni, memaksa walak-walak lain mengadakan perdamaian.

Itulah sebabnya saya menyimpulkan bahwa pada awalnya, penggunaan kata “minhasa ” dari Schierstein bermakna sebagai cara pendekatan penyelesaikan konflik diantara ukung dan walak melalui jalan “musyawarah mufakat”. Selanjutnya Supit, (1988:141) menyebutkan:

“… bahwa musyawarah yang disebutnya “Minhasa” atau Landraad atau Vergadering der dorpshoofden (Musyawarah para ukung) untuk pertama kalinya digunakan secara resmi dalam arti musyawarah para ukung. Sebenarnya perkataan itu berasal dari kata “minaesa” yang berarti menjadi satu, yang sejak masa lampau telah hidup dalam masyarakat Minahasa. Setiap kali masyarakat menghadapi suatu persoalan bersama, mereka mengadakan musyawarah untuk mencari jalan keluar bersama. Hasil dari musyawarah itu hampir selalu merupakan tindakan bersama berdasarkan prinsip minaesa. Tetapi segera setelah peristiwa yang dihadapi bersama itu selesai, prinsip minaesa ditinggalkan oleh para walak bersangkutan, mereka kembali hidup sendiri-sendiri”. (Pasal-pasal perjanjian lengkap dapat dilihat dalam Bert Supit, Minahasa dari Amanat Watu Pinawetengan Sampai Gelora Minawanua, Sinar Harapan, Jakarta, 1986, hal. 141-148.)

Tetapi dalam hal istilah Minahasa dipahami sebagai “bermakna persatuan” dalam artian yang sejati, diragukan oleh Devid E.F. Henley (1992) (Lihat David  E.F. Henley, Nationalism and Regionalism in a Colonial Contex, Minahasa in the Dutch East Indies, KITLV Press, Leiden, 1996, hal. 23.) . Menurutnya, Minahasa baru muncul sebagai satu kesatuan teritorial tanggal 10 Januari 1679. Pada waktu itu kedudukan para Walak di pedalaman sangat kuat. Kekuasaan politik mereka lebih mencolok dibandingkan dengan kekuasaan para raja yang menjadi tetangganya. Karena kepentingan kolonial, pemerintah Belanda telah menyatukan kelompok-kelompok sub-etnik di penggunungan. Residen J.D. Schierstein (1789) untuk pertama kalinya menggunakan kata “Min(a)hasa”. Tetapi, dari pihak orang pegunungan, nama Minahasa sesungguhnya merupakan nama yang tidak dapat dipertanggung jawabkan (exonerating).

Henley juga menegaskan, bahwa Minahasa sebenarnya lebih mengacu pada kesatuan teritorial daripada kesatuan penduduknya. Sebab, orang Minahasa baru mulai menganggap diri mereka sebagai satu kesatuan setelah abad ke-18. Yakni, ketika penduduk kawasan ini mengalami transformasi sosial yang dramatis, sebagai akibat dari panetrasi pemerintahan Belanda yang intensif terhadap pembudayaan tanaman kopi secara paksa, aktivitas dari misi Kristen, dan pendidikan ala Barat. Jadi baru pada masa inilah kata minahasa mendapatkan artinya untuk wilayah itu.

Sedangkan masalah “persatuan” jelas terlihat dalam kesamaan mereka sebagai suatu kelompok yang merasakan pengalaman dibawah pemerintahan kolonial dan dalam kebersamaan institusi-institusi. Para penginjil juga memperkenalkan suatu kesatuan sosial yang nyata dan sangat ideal yang berasosiasi dengan pemikiran yang menuju pada persaudaraan secara Kristiani.
Ketik ulang dari buku : Injil dan identitas orang Minahasa
foto : Green Weol

Komentar

Anonim mengatakan…
ulasan yg sangat bagus, ilmiah and rasional. Biasanya blog sejarah minahasa bnyk campuran mitos yang cenderung spekulasi. bahkan ada tulisan perihal pembagian wilayah lewat watupinabentengan yg sangat eropa banget.
Terima kasih ulasannya.

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat Sangihe: Madunde Dan Pahawo

Pelurusan Sejarah Manado

Tari Mahamba Bantik