Sejarah Desa Pinamorongan

Sejak pembagian yang dilakukan Lumimuut di Pinawetengan pada tahun 1428,orang Minahasa mulai terpisah-pisah sesuai dengan wilayah yang telah ditentukan. Secara budaya desa Pinamorongan termasuk wilayah etnis Tountemboan setelah pembagian di Pinawetengan,orang-orang Tountemboan mulai menuju ke arah Tenggara,dalam perjalanan tersebut mereka melewati banyak wilayah,ada sebagian dari rombongan yang dalam perjalanan mulai menetap di daerah yang mereka lalui yang mereka anggap layak untuk dihuni,ketika rombongan sampai di Kawangkoan maka banyak diantara mereka yang memilih untuk menetap di Kawangkoan namun ada juga yang memilih untuk mencari daerah yang lain,sebagian dari mereka kemudian meneruskan perjalanan dan sampai di Pinamorongan di bawah pimpinan Tonaas Mawokto,dan para pengikutnya Dotu Mondoringin, Dotu Tutu, Dotu Rumokoy, Dotu Sumewur, Dotu Salombaktas, Dotu Kaleeb, Dotu Makarawung, Dotu Sangian, Dotu Ladow.

Mereka sampai ke Pinamorongan pada tahun 1464,untuk menandai kedatangan mereka maka mereka menanam pohon beringin di bukit Watuleley yang saat ini tinggal anaknya yang tersisah sedang pohon yang asli sudah mati. Sebelum mereka sampai di Pinamorongan,sudah terdapat orang-orang yang telah menghuni wilayah tersebut terlebih dahulu,tempat tinggal mereka di sebuah tempat yang di kenal dengan nama Tawaang yang saat ini adalah areal perkebunan,namun letak pemukiman tua tersebut tidak diketahui.
Ketika para leluhur Pinamorongan sampai di suatu wilayah yang bergunung-gunung/ tidak rata,mereka mencoba untuk bercocok tanam namun gagal karena tanah tersebut tandus,kemudian mereka menamai tempat tersebut dengan nama Rumbia yang berasal dari kata Marumbi-rumbi. Keadaan alam yang tidak mendukung akhirnya membuat mereka harus mencari daerah baru,setelah beberapa waktu mencari-cari daerah yang cocok akhirnya mereka menemukan sebuah daerah di kaki gunung yang mereka namai Gunung Manembo yang merupakan gunung tertinggi di desa Pinamorongan saat ini.

Setelah sekian lama menempati wilayah tersebut,mereka kemudian ditimpah bencana berupa penyakit sampar/kolera yang membunuh sebagian besar penduduk terutama anak-anak,hal ini kemudian membuat masyarakat yang tersisah kembali teringat tempat tinggal mereka yang sebelumnya,sebagian penduduk ingin kembali ke tempat tersebut namun sebagian lagi menolak mengingat tempat tersebut gersang,akhirnya setelah melalui perundingan maka mereka membagi diri atas 2 kelompok yaitu yang akan kembali ke Rumbia dan yang akan mencari daerah baru,namun sebelumnya mereka membuat perjanjian bahwa walaupun mereka terpisah,tetap penduduk yang kembali ke Rumbia tidak boleh melupakan penduduk yang tidak kembali ke Rumbia beserta tanah pertanian mereka. Setelah mereka membuat perjanjian kemudian mereka berpisah.

Pada sekitaran abad 18 terjadi perang antara Minahasa dan kerajaan Bolaang Mongondow yang memperebutkan wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow mengklaim wilayah Minahasa adalah wilayah miliknya karena pernah ditaklukan oleh salah satu raja Mongondow,hal inilah yang dituntut oleh kerajaan Bolaang Mongondow supaya tanah tersebut ditolak oleh Puak-puak Minahasa karena dalam kenyataannya wilayah tersebut ditempati oleh orang-orang Minahasa,pertentangan yang tidak menemui jalan keluar akhirnya menyebabkan pecahnya perang Minahasa – Bolaang Mongondow yang berlarut-larut (sebenarnya konflik antara Minahasa dan kerajaan Bolaang Mongondow sudah berlangsung jauh sebelumnya). Pada suatu ketika kedudukan Minahasa mulai terdesak dan sebagian wilayah Minahasa telah diduduki oleh tentara Bolaang Mongondow,pada saat itu Pinamorongan menjadi pertahanan terakhir Minahasa,ketika peperangan mulai menghebat maka Tonaas-Tonaas Minahasa memerintahkan semua orang Minahasa menggunakan serban kepala berwarna merah ini dilakukan untuk membedakan mana lawan mana kawan,setelah melalui perjuangan yang berat akhirnya Minahasa meraih kemenangan yang di tandai dengan tewasnya raja Bolaang Mongondow di ujung desa Pinamorongan. Raja Bolaang Mongondow tewas karena terkena bambu runcing yang di lemparkan oleh salah seorang Tonaas Minahasa,mayat raja Bolaang Mongondow tidak lagi dibawah pulang oleh anak buahnya dan hanya dibiarkan begitu saja,bahkan bambu yang menancap pada tubuh raja Bolaang Mongondow bertumbuh dan saat ini menjadi rumpun bambu,pada masa itulah nama Rumbia diganti dengan nama Pinorongan untuk menggambarkan keadaan orang Minahasa pada saat itu. Pada masa pendudukan Belanda nama Pinorongan diganti dengan nama Pinamorongan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat Sangihe: Madunde Dan Pahawo

Pelurusan Sejarah Manado

Tari Mahamba Bantik