Pelurusan Sejarah Manado


Kita tahu bersama bahwa sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesai, telah terjadi banyak manipulasi sejarah perjuangan bangsa di bumi nusantara tercinta ini.  Simak peristiwa G-30 S/PKI dimana penguasa militer Soeharto yang didukung oleh lembaga Intelegen Amerika Serikat (CIA) melakukan kudeta berdarah atas beberapa pimpinan TNI dan pemerintahan Presiden Republik Indonesia Soekarno dengan memanfaatkan strategi adu-domba dan pembohongan publik.  Walaupun peluncuran buku terbaru dengan judul “Soekarno File” oleh Antonie C.A Dake membantah keterlibatan Soeharto dan CIA.   Namun penulis yakin  bahwa argumentasi  dan publikasi buku Dake  memiliki kepentingan untuk restorasi/menjaga  nama baik CIA dan pamor Amerika Serikat yang sudah rusak/tercoreng dimata masyarakat Indonesia karena keterlibatan mereka dalam peristiwa G-30 S/PKI.   Apapun komentar dan tanggapan orang, bisa saja berbeda-beda namun kebenaran suatu peristiwa atau sejarah harus dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah.  Sehingga yang namanya sejarah bukan merupakan sesuatu disiplin ilmu  yang statis, tetapi  suatu disiplin yang sifatnya berubah-ubah sejauh mana ada pembuktian empiris dari penemuan-pemuan baru yang hakiki dan otentik.  Begitu pula dengan eksistensi sejarah kota Manado yang merupakan produk awal pemerintah/kaki tangan Orde Baru.  Waktu A. A. Pelealu menjabat walikota Manado, dipusat kota dibangun sebuah tugu dan patung yang dikenal dengan “Dotu Lolong Lasut”  yang berlokasi di jantung kota, dan sekarang kita kenal dengan Taman Kesatuan Bangsa (TKB).  Namun berdasarkan kesaksian hidup Ben Wowor melalui bukunya yang berjudul: “Anggota Legislatif Harus Mengenal Rakyat dan Daerahnya”  dan hasil tanya-jawab 2 (dua) kali pertemuan yang bersangkutan dengan penulis pada Minggu Pertama dan Kedua bulan Nopember 2005  (bertempat dirumah Bp. Ben Wowor di Paal 4). Ternyata  penulis mendapatkan banyak informasi disekitar manipulasi dan pembohongan publik pemerintah Orde Baru kota Manado pada awal kekuasaannya di Sulut.  Penulis yang artikelnya sering tampil dimedia lokal maupun nasional tentang pelurusan sejarah Manado, pada kesempatan ini juga menurunkan beberapa kesimpulan hasil pelaksanaan seminar penyusunan Sejarah Manado yang digelar oleh Pemerintah Kota Manado pada tanggal 12 Juli 2004.  Bahkan materi ini telah dipadukan dengan kesaksian/pernyataan bapak BEN Wowor, salah seorang penulis sejarah revolusi bangsa yang sudah tidak asing lagi bagi warga Sulawesi Utara.  
Bapak Ben Wowor yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Penerangan Sulut dan banyak menulis dan menyimpan  dokumen sejarah revolusi nasional menuturkan pada penulis sbb:  “bahwa ia bersama  almarhum Frans Watuseke (salah seorang pemerhati sejarah Minahasa) pada beberapa kesempatan melihat dan menyaksikan  secara langsung “batu nisan”  atau kuburan dari yang namanya Lolong Lasut yang sudah reot didepan Bank BNI 46 Cabang Manado sekarang”.  Pada batu nisan tersebut tertulis bahwa Lolong Lasut dinyatakan meninggal pada tahun 1787 (seribu tujuh ratus delapan puluh tujuh).  Tetapi setelah Ben Wowor dalam kurun waktu  tertentu berada di Jakarta dan batu nisan/kuburan tersebut telah dipugar oleh pemerintah Kota Manado menjadi tugu Dotu Lolong Lasut yang dibangun disamping toko Meubel Mega (Depan Bank Negara Indonesia 46) sekarang, ternyata telah terjadi suatu rekayasa pemutar-balikan fakta sejarah negeri Wenang yang merupakan cikal bakal dari Kota Manado.  Bahkan Ben Wowor sendiri tampil berbicara dalam forum Seminar 12 Juli 2004 menyatakan:  “begitu terkejut dan prihatin menyaksikan suatu manipulasi dan pembohongan publik tentang pencantuman tahun kelahiran dan kematian Lolong Lasut pada tugu tersebut”.   Dimana dotu Lolong Lasut dinyatakan lahir pada tahun 1450 dan dinyatakan meninggal pada tahun 1520, bahkan pada tugu tersebut telah dinyatakan sebagai penemu dan pendiri negeri Wenang.  Sebetulnya Ben Wowor waktu itu telah lakukan protes terhadap kebohongan pemerintah kota Manado dengan jalan menulis sebuah artikel  di harian Obor Pancasila.  Namun sangat disayangkan sebab tidak ditanggapi apalagi dilakukan koreksi oleh pemerintah Orde Baru yang berkuasa pada waktu itu.  Jadi tulisan ini sebetulnya tinggal reproduksi sebagian dari apa yang Ben Wowor telah beritakan sebelumnya pada harian Obor Pancasila.  Bagi penulis, persoalan ini sangat hakiki dan penting untuk kembali diangkat guna diketahui oleh warga Manado dan sekitarnya.   Dari pada ribut dengan istilah “tinutuan”  untuk kota Manado, sebaiknya para pengambil keputusan/penguasa (pemerintah eksekutif dan legislatif) Kota Manado sekarang mengambil langkah-langkah kongkrit untuk pelurusan dan penyusunan Sejarah Manado Yang Otentik.  Sebab merupakan hal yang sangat memprihatinkan bagi warga Manado itu sendiri yang nyatanya memiliki kota “Tinutuan” yang dinyatakan berdiri sejak tahun 1623, namun sejauh ini tidak mempunyai dokumen sejarahnya.

Bapak Ben Wowor menuturkan bahwa yang bersangkutan  masih tergolong anggota keluarga besar Lasut sehingga sangat memahami mengapa telah terjadi pembohongan publik menyangkut rekayasa tahun kelahiran dan kematian dotu Lolong Lasut.  Penulis yang juga merupakan salah seorang pemakalah/panelis pada seminar 12 Juli 2004  mengungkapkan hasil temuan dan kajian ilmiahnya yang mana sangat mendukung apa yang disaksikan/diberitakan oleh Ben Wowor dan almarhum Frans Watuseke.   Dengan demikian, penulis makin pasti tentang terjadinya manipulasi sejarah Manado demi kepentingan politis kelompok penguasa Orde Baru.  Penulis tidak bermaksud untuk menonjolkan kesukuan disini tetapi kebenaran sejarah harus dinyatakan sebagaimana apa adanya.  Dari makalah penulis dikatakan bahwa yang namanya “dotu Lolong Lasut” mengalami kematian secara “gentleman” ditangan kakak iparnya sendiri yang bernama  Sahumanang, yang waktu itu menjabat sebagai panglima perang (Mogandi) Suku Bantik Benang (Wenang) pada tahun 1780-an.  Kemudian mayat (keranda) dari dotu Lolong Lasut oleh istrinya dikuburkan di Pekuburan Bantik, yang terdapat dikompleks Bank Mandiri dan toko Meubel Mega sekarang.   Penulis lebih jauh menuturkan bahwa dulunya terdapat sebuah jalan yang bernama “Lebu Sahumanang”  yang membentang dari belakang Sophing Senter Manado (sekarang) ke arah Jembatan Megawati. Namun sangat disayangkan, sebab jalan Lebu Sahumanang tersebut telah diganti dengan jalan Si Singa Mangaraja (sekarang) dan Pekuburan Bantik tersebut telah dibongkar dan dilenyapkan.  Yang jelas-jelas merupakan suatu upaya pemerintah Orba Manado untuk secara sengaja menghilangkan (melakukan rekayasa) nilai dan arti sejarah Kota Manado yang sesungguhnya.  Bila anda membaca tugu Lolong Lasut yang terpajang disamping kanan toko Meubel Mega sekarang, disitu tercatat bahwa Lolong Lasut dinyatakan meninggal pada tahun 1520.  Tetapi mungkin warga  Manado dan sekitarnya tidak tahu mengapa Lolong Lasut meninggal dan dikuburkan di Pekuburan Bantik, demikian ungkap penulis yang sejauh ini banyak meneliti dan menulis tentang Sejarah Manado.  Sebab kedudukan tugu dan kompleks Bank Mandiri (sekarang) adalah areal pekuburan masyarakat Bantik negeri Pogidon/Wenang tempo dulu.   Sahumanang adalah kakak-ipar  dari dotu Lolong Lasut sendiri sebab adik kandung (wanita) dari Mogandi Sahumanang adalah istri dari dotu Lolong Lasut.  Dimana dari perkawinan mereka (Lolong Lasut dan adik Sahumanang) lahirlah seorang pemuda Toubanti perkasa bernama “Lriupangau”.  Pada masa kekuasaan Belanda di Manado, Lriupangau bersama pasukannya mendapat tugas dari kompeni Belanda (Residen Carel Christoph Prediger) untuk menumpas kekuasaan Mangindano (asal Filipina Selatan) di kawasan pulau Bangka (Likupang-Kalinaung sekarang).  Penyerbuan tersebut dikenal dengan perang Kalinaung, dimana Lriupangau bersama pasukan Toubanti berhasil menumpas bajak laut Mangindano dan mempersembahkan kepala Sibambang (raja Mangindano) kepada kompeni Belanda di Wenang.  Sibambang merupakan  pemimpin bajak laut Mangindano yang bersama pasukannya telah menguasai pesisir pantai Utara-Timur Minahasa dan terkenal buas, sangat kejam, dan bengis menjarah serta menculik masyarakat Minahasa yang bermukin di pantai Utara-Timur tanah Malesung.   Dari buku Pdt. Frederik Abuthan STh (1977) yang berjudul “Sejarah Minahasa Suku Bantik”  dinyatakan (halaman 69-70) bahwa Lriupangau meninggal pada tahun 1825 dan dikuburkan diatas pebukitan negeri Singkil.  Karena keberhasilan menumpas pemukiman dan gerombolan Sibambang,  pemerintah Belanda yang berpusat di Wenang memberi pangkat “mayor”  pada Lriupangau.  Jadi kalau putra kandung  dari Lolong Lasut sendiri (Lriupangau) hidup pada jaman pendudukan Belanda di Wenang, yakni  pada periode  kepemimpinan Residen C.C Prediger  (tahun 1802-1809),  maka bagaimana mungkin pemerintah Orba dapat merekayasa tahun kelahiran (1450) dan kematian (1520) Lolong Lasut yang berabad-abad perbedaannya  ???  Jelas tidak ada keterkaitannya disini sehingga hal ini dapat dibuktikan sebagai suatu rekayasa dan pembohongan sejarah berdirinya negeri Wenang.   Bahkan nyata-nyata hal ini tidak didukung oleh aspek gineologi dan anthropologi sejarah  pemukiman kota Manado yang ditulis oleh literatur asing  seperti antara lain: J.E Jasper (De Bantiks, een oud volksstam in de Minahasa)  dan DR. Sydney J. Hickson (Naturalist In North Celebes) yang telah melakukan suatu observasi ilmiah secara langsung pada tahun 1886.  Pada kesempatan ini pula penulis himbau para pemerhati dan sejarawan Manado/Minahasa untuk memberikan tanggapan secara ilmiah atas tulisan ini.
Juga berdasarkan penyampaian saksi hidup yang lain (Bapak Pdt. Kelly Rondoh dan Bapak Pdt.Kapojos) pada penulis bahwa semestinya patung/tugu yang harus dibangun di Taman Kesatuan Bangsa (pusat kota Manado sekarang) adalah bukan patung Lolong Lasut, tetapi patung dari Robert Wolter Mongisidi.  Sebab menurut Pdt. Kelly Rondoh hal ini merupakan kesepakatan antara pemerintah Minahasa dan masyarakat Bantik dimana Pemkab Minahasa dapat keluasan oleh masyarakat Bantik untuk menggunakan “Burung Manguni” sebagai lambang Pemkab Minahasa.  Sedangkan sebagai imbalannya Kecamatan Malalayang harus dirubah menjadi Kecamatan Bantik, dan di pusat kota Manado (TKB sekarang) hendaknya dibangun patung Robert Wolter Mongisidi.   Waktu itu bapak Pdt. Kelly Rondoh  menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Minahasa.   Namun ketika H.V. Worang menjabat sebagai Gubernur Sulut dan A.A. Pelealu menjabat sebagai Walikota Manado,  patung Wolter Mongisidi yang sudah terpajang di TKB (sekarang), telah diganti dengan patung Lolong Lasut, demikian tuturan kedua saksi hidup tersebut dan para tetua masyarakat Bantik Manado Utara.  Juga berdasarkan penyampaian Bapak Joseph Potoboba {mantan karyawan Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang dimekarkan menjadi Bank Mandiri sekarang} pada penulis, yaitu: “sewaktu membangun gedung BDNI, telah ditemukan banyak sekali tulang-tulang dan tengkorak manusia”  disekitar kompleks tugu  Lolong Lasut dan toko Meubel Mega  sekarang.  Namun Potoboba sebelumnya tidak mengetahui kalau kompleks tersebut merupakan Pekuburan Masyarakat Bantik  negeri Pogidon/Wenang  tempo dulu,  demikian pernyataan Potoboba pada penulis.

Mengapa terjadi rekayasa tahun kelahiran (tahun 1450)  dan kematian (1520) Lolong Lasut?

Bapak Ben Wowor masih tergolong keluarga dekat marga Lasut sehingga dapat mengetahui secara pasti mengapa terjadi rekayasa oleh pemerintah Orde Baru dimaksud.  Awalnya bersumber dari tuturan/ceritra salah seorang keluarga Lasut bernama Nica Lasut yang juga merupakan salah seorang pejabat pemerintah Minahasa pada jaman dahulu.  Nica Lasut menyatakan bahwa Dotu Lolong Lasut merupakan keturunan dari seorang Tonaas yang bernama Rurugala asal Walian (Tomohon) yang hidup pada jaman tahun 1450-an.  Kemudian Rurugala mempunyai seorang putra bernama Ruruares yang datang mengembara di sekitar muara Sungai Tondano/Kali Jengki.  Ceritanya, Ruruares  membuka pemukiman seluas kulit seekor sapi yang dipotong-potong menjadi bahan pintalan (tali) yang disambung-sambung dan ditarik sebesar pemukiman yang akhirnya diklaimnya sebagai wilayah kekuasaannya pada jaman dahulu.  Atas tuturan Nica Lasut (yang sumbernya tidak jelas) akhirnya Ruruares ini telah dinyatakan dan dikenal sebagai dotu Lolong Lasut,  namun  Nica  sendiri tidak dapat menjelaskan mengapa sampai terjadi perubahan nama dari Ruruares menjadi Dotu Lolong Lasut. Ben Wowor yang telah membuat silsilah keluarga Lasut menyatakan bahwa  kemungkinan Tonaas Rurugala hidup pada tahun  sebelum 1450-an adalah benar tetapi tidak masuk akal bagaimana nyambungnya dengan kehidupan (eksistensi)  Lolong Lasut sendiri yang baru eksis pada tahun 1780-an.  Sebab Ben Wowor bersama almarhum Frans Watuseke sempat melihat dan membaca batu nisan (kuburan) dari Lolong Lasut sebelum dipugar dan dibangun tugunya oleh Pemerintah Orba Manado disamping toko Meubel Mega sekarang.  Juga hal ini sebelumnya telah diperbincangkan Ben Wowor dengan almarhum  John Rahasia dimana mereka sepakat telah terjadi suatu manipulasi sejarah Manado.  Jadi disini jelas-jelas telah terjadi suatu pemutar-balikkan fakta sejarah Manado yang  mana hal ini tidak diketahui oleh kebanyakan warga Manado dan sekitarnya.  Bapak Ben Wowor katakan pada penulis bahwa: “jika tugu Lolong Lasut  sekarang dibongkar, maka mungkin batu nisan/kuburan dibawahnya masih ada untuk menunjukkan kebenaran tuturannya”.

Dengan mengacu pada  buku  DR. Sydney J. Hickson (1889)  yang berjudul  “Naturalist In North Celebes”  penulis kutip dari halaman 324 sebagai berikut:  “in the year 1563  Mascarenhas sent a priest from Ternate, named Pater Diogo Magalhaens to preach christianity to the people of Manado.  He (Mascarenhas) said that the manadeese were brave and warlike people and a terror in the neighbourhood: his remarks apply to the Bantiks,  who formed at the time a large and powerful tribe”.  Terjemahannya:  bahwa pada tahun 1563,  Mascahenras mengutus seorang paderi bernama Pater Diego Magalhaens dari Ternate untuk berkotbah tentang kekristenan bagi orang-orang Manado.   Mascahenras berkata bahwa warga Manado adalah pemberani dan gemar berperang serta merupakan suatu teror bagi negeri tetangga: maksud pernyataannya ditujuhkan pada masyarakat Bantik yang pada waktu itu telah terbentuk sebagai sebuah suku yang besar dan berkuasa.  Jadi sebelum tahun 1563,  literatur asing telah menyatakan eksistensi masyarakat Manado, yakni mayoritasnya adalah warga Bantik sebagai “premis improperish” (aboriginal) yang kekuasaannya telah diakui oleh warga asing/pendatang.  Juga dari buku Bert Supit (1984) yang berjudul “MINAHASA: Dari Amanat Watu Pinabetengan Sampai Gelora Minawanua”  menyatakan (halaman 78) bahwa pada tahun 1541, Nikolas Desliens telah mencantumkan kata “Manado” dalam peta pelayarannya disekitar perairan Sulawesi Utara. Dengan demikian, penetapan 14 Juli 1623 sebagai hari kelahiran kota Manado adalah tidak mendasar atau merupakan rekayasa secara simbolis dari pemerintah Orde Baru pada awal kekuasaannya.  Bahkan lebih jauh DR. Sydney J. Hickson mengatakan bahwa pada tahun 1886,  Manado merupakan “the chief town of Minahasa” yang kedudukannya secara geografis telah ditentukan oleh P. de Lange antara 124º 49' 44" bujur timur dan 1º 29' 39" lintang utara.   Dimana perkiraan penghuni yang menempati areal/wilayah ini menurut Hickson (halaman 207) sekitar 5000 s/d 6000 penduduk, yang terdiri dari: a very small percentage of white Europeans, a number of half-eastes Chinese and Arabs, Christians, a few Mohamedan natives, and the Bantiks (a race of Alfurs who still retain their old religion).   

Bahkan penulis sendiri dapat nyatakan bahwa bukan saja secara historis tetapi secara yuridis sejauh ini dapat dibuktikan bahwa wilayah kota Manado ini merupakan waris masyarakat Bantik.  Namun penulis tidak bermaksud untuk mempersoalkan eksistensi masyarakat “pendatang tinutuan” Manado sekarang yang telah mendiami/menguasai kawasan ini, tetapi setidaknya Pemerintah Kota Manado hendaknya memiliki suatu dokumen/sejarah kota Manado Yang Otentik yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah.  Simak peninggalan salah seorang Kepala Walak Bantik Kristen Titiwungen bernama Agustinkahinda (Johanes Karinda) yang mendirikan negeri Titiwungen pada tahun 1773 dan telah mewariskan Eigendom Perfonding nomor 232 dan Meet Brief 272 tertanggal 28 Juni 1879 pada keluarga Linora Torindatu/Keluarga Conrad/Jantje Kalumata Cs sebagai pembawa waris.  Sebab hal ini didukung oleh banyak dokumen pejabat pemerintah yang sempat memimpin daerah/wilayah yang merupakan cikal bakal dari kota Manado sekarang, antara lain: 1) Jan Hendrik Mononutu yang menjabat sebagai Hukum Kedua Distrik Manado Selatan pada tahun 1950 (juga pada waktu yang bersamaan Mononutu memegang jabatan sebagai Hukum Djaksa Manado), 2)  H.R. Ticoalu yang pada tahun 1951 menjabat sebagai wakil Kepala Distrik  Manado, 3) P.M. Tangkilisan (putra asli Bantik) yang pada tahun 1951 menjabat sebagai Kepala Daerah Minahasa, dan 4 ) Letkol Yoopy Warow  yang pada tahun 1950 menjabat sebagai Komandan CPM SUMU (Sulawesi Maluku Utara).  Apabila Jan Hendrik Mononutu yang mengklaim dirinya sebagai sesepuh masyarakat Borgo di Manado menyatakan bersama mantan Lurah Titiwungen (Inkiriwang) pada tahun 1950-an bahwa Eigendom Perfonding 232 yang nyatanya meliputi luas areal/wilayah 5 (lima) Kecamatan Kota Manado sekarang, {yaitu Kecamatan Wenang, Kecamatan Tikala, Kecamatan Sario, Kecamatan Wanea, dan Kecamatan Malalayang serta pada bagian Barat dari tanah tersebut dinyatakan berbatasan dengan Laut Sulawesi (Teluk Manado)},  adalah peninggalan Kepala Walak Bantik Agustinkahinda dimana keluarga Linora Torindatu/Kalumata sebagai pembawa waris,  maka bagaimana mungkin ada pihak-pihak tertentu seperti Dotu Lolong Lasut dan lain-lain untuk secara historis mengklaim  kawasan ini sebagai waris mereka !!.    Sekali lagi penulis tidak bermaksud untuk menunjukkan atau menonjolkan kesukuan disini tetapi sekadar meluruskan sejarah Manado dengan mengetengahkan penemuan-penemuan baru yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah dan otentik.

Salah satu kesimpulan dari  seminar 12 Juli 2004 adalah bahwa penetapan Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Manado pada 14 Juli 1623  hanya berupa rekayasa simbolis sebab tidak didasari oleh fakta gineologis dan anthropologis pemekaran sebuah pemukiman, yang dapat dipertanggung-jawabkan secara empiris. Juga peserta seminar telah menunjuk/merekomendasi sebuah Tim Penyusunan Sejarah Manado yang diketuai oleh penulis sendiri dan beranggotakkan: Prof. Drs. Elly Manuhutu, Ben Wowor, Drs. Kamadjaya Alkatuuk MSi, Drs. Alex J. Ulaen,  Drs.  Fendy Parengkuan,  dan Ir. Joost Tambayong (unsur Panitia/pemkot Manado).  Namun sejauh ini belum ada tanggapan  dari Pemkot Manado yang berjanji akan menerbitkan Surat Keputusan  Walikota sebagai landasan kerja Tim.  Dengan terpilihnya Walikota Manado yang baru, yakni Bapak Jimmy Rimba Rogi S.Sos  bersama Lembaga Legislatif Kota Manado, sangat diharapkan terwujudnya suatu karya ilmiah nan komprehensif tentang pelurusan dan penyusunan sejarah Kota Manado  sebagai follow-up  dari seminar 12 Juli 2004 dengan memberdayakan Tim yang telah terbentuk. 

Manado 20 November 2005, Ir. Joutje A. Koapaha, PhD

Komentar

Anonim mengatakan…
Tidaklah mengherankan, sebab dalam penulisan sejarah kalian selalu memaksakan dan hanya mementingkan kesukuan yang diangkat hanyalah minahasa terus apapun itu selalu dipaksakan supaya semuanya ada hubungan dengan minahasa, haruslah kalian ingat bahwa kebenaran selalu akan terungkap. janganlah berbohong supaya kalian tidak di tertawakan.GBU
Anonim mengatakan…
pertanyaan: siapa yang lebih dulu menempati tanah minahasa (termasuk manado), orang bantik atau orang Minahasa (dalam hal ini Tombulu)?

sedangkan Bantik adalah suku pendatang.
Minahasa (tombulu) adalah suku asli, bahasa Bantik lebih mirip ke bahasa Sangir, jadi aslinya mereka orang sangir, dan menjadi pendatang di tanah minahasa.
Anonim mengatakan…
Dari segi Bahasa.. semua Bahasa di Minahasa adalah rumpun Bahasa Sangirik (Sangir-Philipina).

Emang Rasnya Minahasa dari mana..?? jangan bilang kalau berasal dari Planet Mars kemudian turun langsung ke Tomohon tanpa melalui proses Migrasi sebagai Ras Mongoloid Selatan yang bermula dari Taiwan di Utara kemudian menyebrang ke Philipina dan menyebar ke Indonesia.
Anonim mengatakan…
pada awal2 kedatangan eropa, namanya minahasa blum ada apalgi penguasaan wilayah/teritorial (tanah minahasa). etnis yg dikenal oleh belanda di celebes utara hanya sangihe, siau, manado (bobentehu), bolaang (mongondow) serta SUKU SUKU ALIFURU yg hidup di pedalaman.
Anonim mengatakan…
Kenapa ada Dua Kembaran Nama yaitu MANADO yang ditambahkan kata "TUA" yang merujuk ke Pulau MANADO TUA dan MANADO yang saat ini disebut Kota MANADO??

Sangat jelas bahwa Pulau MANADO TUA adalah Nama yang pertama kali masuk dalam Peta Dunia yang ditulis oleh seorang Kartografer yaitu Nicolas Deslin Tahun 1541.. dimana Pulau MANADO TUA oleh Bangsa Eropa yang pertama kali mendarat di Sulawesi Utara adalah Bangsa Portugis Tahun 1523.. bahkan sebelum masuk dalam Peta Dunia, Bangsa-bangsa Eropa telah mendengar Nama MANADO, sehingga pada saat Ekspedisi Bangsa Portugis mengarungi Laut Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Nahkoda Simao Da'Breu pada bulan Mei 1523, dalam ekspedisi ini Simao Da'Breu dilaporkan melihat Manado dalam hal ini Pulau Manado Tua..

Dan Penemuan Pulau MANADO TUA dicatat Gubernur Portugis di Maluku ANTONIO GALVAO dalam bukunya yang berjudul dalam TRATADO yang diuraikan dengan satu kalimat pendek: ‘Ouueram vista das ylhas de Manada…’ atau ‘Mereka melihat pulau Manado..

2. Jikalau Nama MANADO menggantikan WENANG atau POGIDON.. lalu kenapa Nama WENANG dan PONGIDON (PONDOL) hingga saat ini masih ada dan wilayahnya hanya sebesar Kelurahan dan Kecamatan, seharusnya secara Logika kalau sudah di Ganti maka Nama WENANG dan PONGIDON (PONDOL) sudah musnah atau tidak digunakan lagi??

Berarti sebelum Nama WENANG dan PONGIDON itu ada, Nama MANADO telah terlebih dahulu ada.

3. Nama MANADO bukan hanya sekedar Nama tetapi itu mengandung makna Teritorial/Kekuasaan dari Kerajaan BOWONTEHU yang berada di Pulau MANADO TUA dengan Raja-rajanya yang Gagah Berani pernah memerintah disana yaitu MARIKA, LUMENTUT dan WULANGKALANGI..
Anonim mengatakan…
Minahasa punya Ibu Kota ada di Minawanua di Tondano sana dan bukan Manado sebab Manado bukan Minahasa dan Minahasa bukan Manado, makanya itu Tondano meski Minahasa sudah terbagi dalam beberapa Kabupaten tapi Tondano tetap disebut Minahasa Induk.
Adrianus Kojongian mengatakan…
Meluruskan tulisan doktor Jootje,banyak tafsir dari tuturan jadi acuan dan pembenaran. Saya sekedar sebut satu contoh kesalahan. Negeri Titiwungen sebagai ibukota Balak Negeri Baru sudah ada sejak jauh hari sebelum Agustin Karinda, karena Alexander Karinda Kepala Balak Negeri Baru di tanggal 14 Mei 1729 dicatat menyurat ke Gubernue Maluku J.C.Pielat. Apa ndak ada cerita tuturnya, kalau semua tutur sudah dikoleksi?

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat Sangihe: Madunde Dan Pahawo

Tari Maengket