Sekadar Ajakan Refleksi untuk Rekomitmen Peran Budaya dan Budayawan



Syukur pada Tuhan karena perkenanNya sehingga kita bisa sama-sama pada hari yang berbahagia ini berbincang tentang kebudayaan — hal yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan masyarakat namun yang sangat sering tak mendapat perhatian serta perlakuan yang memadai dari masyarakat itu sendiri maupun pemerintah. 

Saya pribadi sungguh merasa sangat berbahagia berada di tengah saudara-saudara, teman-teman seniman garda-depan (avant garde) dari daerah kita yang tercinta ini. Setelah untuk beberapa waktu yang lalu saya lebih dulu berkecimpung akrab dengan para seniman tradisional, maka berada di tengah Anda semua sekarang ini, di tengah para trend setter masyarakat, bagi saya tentu saja merupakan suatu kebutuhan. Kebutuhan untuk bergiat dalam seni budaya secara utuh dan sejati.

Saya sering ditanya, “Mengapa kok saya seorang polisi mengurus kebudayaan?” Jawabannya ada dua. Pertama, justru karena saya selama lebih seperempat abad ini menekuni secara optimal profesi saya sebagai aparat hukum dan kamtibmas itulah maka saya bisa menjadi orang yang sangat menyadari mutlak pentingnya faktor budaya. Betapa banyaknya problem kerawanan sosial, patologi sosial, bahkan pelbagai hambatan dalam penegakan hukum, yang berpangkal dari masalah nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat. 

Saya bergaul dengan permasalahan-permasalahan tersebut secara sangat intens, tak jarang berada dalam situasi mempertaruhkan nyawa, itulah mengapa pemahaman saya tentang budaya boleh dibilang telah sampai di taraf internalized, terhayati, saya menjalaninya secara real dalam kehidupan. Tentu saja dengan segala keterbatasan dan kekurangan saya sekitar pengetahuan teoretis mengenai kebudayaan yang kita tahu sangatlah luas itu.

Jawaban yang kedua tentang mengapa saya mengakrabi budaya, barangkali bisa saya ajukan dalam bentuk pertanyaan balik: “Apakah salah jika saya ingin lebih dekat dengan kebudayaan leluhur saya sendiri?

Adakah sesuatu yang bisa mencabut hak asasi saya di bidang kultural? Sebagai anak keturunan Minahasa Sulawesi Utara yang tumbuh di tanah rantau, tidak bolehkah saya menikmati kehangatan dari akar budaya saya sendiri dan menerima kekayaan batin dari kebudayaan kita yang luhur ini?”

Saudara-saudaraku Warga Sulawesi Utara, Teman-teman seniman dan budayawan yang saya muliakan.
Sebuah buku yang terbit akhir tahun lalu oleh Penerbit LP3ES Jakarta berjudul “Kebangkitan Peran Budaya” dengan subjudul “Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kemajuan Manusia” ditulis oleh sejumlah pakar ekonomi dan politik untuk memaparkan dengan sangat banyak bukti tentang peran budaya sebagai faktor penentu bagi sukses atau gagalnya pembangunan setiap bangsa. 

Lawrence Harrison, salah satu penulis dan sekaligus editor buku tersebut antara lain menunjuk kasus negara-negara Amerika Selatan yang begitu tertinggal jauh dibanding perekonomian maupun peradaban Amerika Utara (AS dan Kanada). Bersama sejumlah peneliti lainnya, mereka tiba pada kesimpulan bahwa sangat keliru jika masih mengira keterbelakangan sejumlah bangsa selama ini hanya diakibatkan oleh penjajahan, kolonialisme dan neo-kolonialisme. Editor lainnya dari buku tersebut, Samuel Huntington, mengangkat bukti dari perbandingan antara Korea Selatan dan Ghana. Dengan modal ekonomi yang sama, tapi hasil pembangunan dari kedua negara ini sangat jauh. Dalam periode yang sama, Korea Selatan bisa mencapai tingkat income per-kapita 15 kali lebih besar dari Ghana. Begitu dalam hal juga tingkat penegakan hukum dan HAM, Korea Selatan jauh meninggalkan kondisi sosial dan politik di Ghana.

Sebenarnya peran budaya dalam pembangunan sudah lama diteliti dan diakui oleh sejumlah ahli ekonomi sendiri. Ekonom asal Swedia yang memenangkan Hadiah Nobel untuk Bidang Ekonomi tahun 1974, Prof. Gunnar Myrdal dalam bukunya Asian Drama pun menjelaskan hal tersebut. Sebelumnya, satu abad yang lalu, sosiolog dan peneliti sejarah ekonomi asal Jerman, Max Weber, telah mengungkap peran nilai-nilai budaya dalam memajukan secara sangat fenomenal bangsa-bangsa di Eropa Barat — dalam hal ini nilai-nilai budaya yang tumbuh dari pemahaman masyarakat pada ajaran agama Kristen Protestan khususnya doktrin Calvinisme.

Bertolak dari semua fakta tersebut di atas, maka sangat patut disesalkan bila di mana-mana kita masih menyaksikan masyarakat dan pemerintah yang memperlakukan bidang kebudayaan secara jauh dari memadai. Budaya hanya dijadikan faktor sampingan, semacam kegiatan pelengkap seremoni, atau sekadar hiburan ringan. 

Semua perhatian dan effort dicurahkan besar-besaran pada investasi bisnis dan proyek-proyek fisik. Akibatnya adalah tumbuhnya manusia-manusia yang sukses secara ekonomi namun gagal secara budaya, tanggung jawab moral yang dangkal, batin yang miskin, kepribadian yang kerdil. Larisnya segala narkoba yang kendati sangat mahal dan mematikan, tak lain berpangkal dari orang-orang yang sukses secara ekonomi namun gagal secara kultural. Bermacam penyakit sosial, pelbagai kejahatan, konflik sosial, dan sebagainya, adalah bukti kegagalan kultural, jika kita berangkat dari asumsi dasar bahwa tak seorang manusia pun ingin mati, celaka atau dihukum.

Kejayaan suatu masyarakat, bangsa dan negara sangat ditentukan oleh keberhasilan masyarakat itu sendiri membangun budayanya. Jauh sebelum Max Weber dan Gunnar Myrdal,  ahli politik ekonomi berkebangsaan Jerman, Friedrich List dalam bukunya Sistem Ekonomi-Politik Nasional (1841) sudah menjelaskan secara rinci peran budaya untuk kejayaan suatu bangsa. List antara lain menguraikan penting dan strategisnya pengembangan kesenian di masyarakat.

Sedemikian pentingnya kebudayaan dalam pembangunan masyarakat, sedemikianlah penting dan strategisnya seni dalam kebudayaan. Kesenian bukan saja bagian dari kebudayaan, tapi kesenian pun adalah lokomotif yang memajukan kebudayaan dalam arah dan kecepatan tertentu sesuai kualitas dari para senimannya, terutama para seniman garda depan.

Aktivitas seni yang mengandalkan daya estetika adalah kegiatan yang tidak kurang dari proses perambahan daerah-daerah kesadaran baru. Hasil perambahan inilah yang — melalui konstruksi logika — dijadikan pelbagai teori dan ilmu pengetahuan. Logika dan pengetahuan inilah yang kemudian mengendap sebagai nilai-nilai budaya. Sementara seni avant-gardis yang diciptakan tadi, berkat ketrampilan/artistika seniman, akan berperan langsung dalam masyarakat dan beberapa di antaranya akan dibakukan sebagai seni tradisional.

Mengingat peranan seni yang sedemikian mendasar dan strategisnya bagi kebudayaan itulah mengapa saya merasa sungguh berbahagia berada di tengah para seniman dan budayawan daerah kita yang tercinta ini.

Ketika bidang kebudayaan dan kesenian nyaris selamanya dinilai dan diperlakukan kurang memadai, padahal merupakan hal yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan masyarakat, maka kalau ada walau hanya segelintir kecil anggota masyarakat seperti saudara-saudara yang ada di sini, yang sadar akan pentingnya peranan seni budaya, daerah kita ini pasti masih memiliki harapan untuk bukan saja sekadar survive di tengah arus globalisasi dengan konkurensi yang sangat tajam tetapi juga bisa bangkit unggul dan berjaya. Yang penting jangan menunggu lama. Jangan beralasan dengan segala hambatan dan keterbatasan. Berbuatlah apa yang bisa, Tuhan pasti sudah menyiapkan pahala yang terbaik bagi setiap orang yang berjuang dan berkarya dalam keluhuran.

Para seniman harus menyadari dan berbangga akan perannya yang mulia ini. Setiap saat kita harus mengadakan refleksi mengenai peranan setiap kita dalam kehidupan ini, secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama seperti hari ini. Harus mengadakan rekomitmen untuk perjuangan yang luhur ini. Para seniman dan budayawan jangan ikut hanyut menjadi budak konsumerisme, menjadi calo politisi atau pengusaha yang merusak moral dan alam lingkungan. Seniman adalah trend setter seluruh masyarakat ke arah yang lebih, dan lebih, berbudaya mulia. 

Sekali lagi, sebagaimana sering saya sampaikan, saya pribadi masih sangat terbatas, yang ada hanyalah niat yang besar. Saya berbicara di forum yang terhormat ini pastilah bukan sebagai orang yang paling tahu, apalagi yang paling berpengalaman. Apa yang kami bisa lakukan selama ini masih merupakan sumbangsih awal. Sementara kita semua tahu, di antara teman-teman yang ada di sini saja sudah dihasilkan sejak dulu sejumlah karya seni yang bermutu dan yang sudah menjadi tonggak penting dalam sejarah pengembangan seni budaya daerah kita. Banyak buku sastra sudah terbit, pementasan teater, karya-karya seni rupa, musik, dan lain-lain. Apa yang kami lakukan dengan mengedepankan segi kuantitas, seperti sejumlah rekor MURI untuk pelbagai cabang seni tradisional secara massal, tak lain semacam upaya untuk membangunkan kesadaran atau sekadar ingatan masyarakat luas bahwa seni budaya adalah suatu faktor. Bahwa seni budaya kita itu ada. Bahwa seni budaya adalah bagian eksistensial diri kita sendiri, maka janganlah terlalu lama diabaikan.

Setelah mengusahakan serangkaian pelatihan untuk beberapa cabang seni tradisional (tari Kabela, tari maengket, kabasaran, kolintang, dan lain-lain), yang diikuti hampir 3000 kader kesenian dari pelbagai daerah hingga di luar Sulawesi Utara, sangat diharapkan untuk selajutnya program dititikberatkan pada segi pengembangan kualitas dan pelbagai kegiatan seni kontemporer. 

Dan upaya besar ini tak mungkin bisa dilakukan tanpa melibatkan sebanyaknya seniman andalan Sulawesi Utara.

Saudara-saudaraku Warga Sulawesi Utara, teman-teman seniman dan budayawan yang saya muliakan, kiranya kesempatan yang indah di akhir tahun ini dapat kita jadikan momentum yang sangat tepat untuk rekomitmen: berjuang paling depan dalam pembangunan masyarakat dan bangsa, melalui pengembangan kesenian dan pembangunan kebudayaan.        

Salam Budaya!  

Desember - 2007

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat Sangihe: Madunde Dan Pahawo

Pelurusan Sejarah Manado

Tari Mahamba Bantik