Pergulatan Seni-Budaya Benny Josua Mamoto Dari Tanah Toar Lumimuut Merambah Dunia


Ia bukan seniman atau budayawan. Ia seorang abdi Bhayangkara, tapi pergulatannya ‘’mengangkat’’ nilai-nilai seni-budaya dari tanah Toar Lumimuut telah menembus ‘’tembok tebal’’ dunia.

Menelusuri jejak Benny Josua Mamoto, saya menemukan dua kisah yang paradoks. Dalam kesehariannya sebagai Pamen Polri, ia (tentu) ia lebih dekat dengan ‘’sengkarut-marut’’ dunia hukum. Namun, di sisi yang berbeda, ia juga getol menggagas aneka hajatan untuk mengangkat ‘’keagungan’’ seni-budaya leluhur Tau Minahasa. Lewat Institut Seni-Budaya Sulut, lembaga yang didirikannya, ia seperti tak pernah kehabisan ide dan semangat; meracik aneka iven untuk mengangkat keluhuran seni-budaya Minahasa, yang sebagian sudah lama terkubur di perut zaman.

Semua kerja keras dan kerja cerdas yang ia lakoni ---tanpa berpikir meraup laba--- , akhirnya bertuah apresiasi dari banyak pihak, meski harus diakui masih ada ‘’seglintir’’ manusia yang ‘’nyinyir’’ (mungkin karena iri) dengan kiprahnya. Tapi, Mamoto terus bergerak, mengikuti kata hatinya, tanpa terpengaruh dengan ‘’cibiran’’ sejumlah manusia yang nyinyir itu.

Aneka rekor MURI direngkuhnya lewat sederet pergelaran seni-budaya yang digagasnya. Musik bambu, tari, Musik Kolintang, Tari Maengket hingga produksi kain Pinabetengan bermotif Waruga dan Bia telah dipergelarkan dan dipamerkan. Bahkan, pada paruh Tahun 2009, pergelaran kolosal Musik Kolintang di Jakarta, telah menembus rekor dunia. Luar biasa!

Bagi saya (sekali lagi), ada senarai veliu (nilai) yang dapat dibaca secara bermakna dari pergulatan seni-budaya Minahasa dilakoni Mamoto. Dan boleh jadi itu sebuah tamparan buat mereka yang mengaku pelaku seni-budaya, termasuk aparat lembaga pemerintah yang mengurusi kesenian dan kebudayaan.

Siapa yang menduga, nun di salah satu pusat rimba kosmopolitan Jakarta, seorang lulusan Akpol, mampu melahirkan gagasan dan gerakan nyata, mengangkat dan memperkenalkan seni-budaya tou Minahasa ke pentas nusantara, bahkan ke panggung mancanegara. Kongkritnya, Mamoto menjadi ‘mutiara’’ bagi perjuangan mempertahankan seni-budaya tradisional Mianahasa agar tidak tersapu oleh badai dan problematika seni-budaya modern yang kian menggila.

Menyandingkan sekaligus membandingkan, kiprah Mamoto dengan aparat lembaga yang digaji oleh rakyat untuk mengurusi seni-budaya daerah, menyembulkan pertanyaan: manakah ‘’mutiara’’ sejati, dan manakah ‘’emas’’ imitasi? Saya harus tegas dan jujur: Mamoto adalah ‘’mutiara’’ sejati yang kemilaunya menjadi terang bagi ‘’kegelapan’’ hati aparat yang ‘’makan gaji’’ di lembaga-lembaga kesenian dan kebudayaan daerah.

Sudah puluhan tahun kita dikungkung oleh berbagai wacana besar, tentang slogan ‘’mengembangkan dan melestarikan’’ seni-budaya daerah. Sudah sekian lama pula kita dipaksa percaya dengan pidato-pidato dengan mulut berbusa dari aparat lembaga kesenian dan kebudayaan daerah, terkait pelestarian seni-budaya daerah. Tapi fakta yang terbentang: kita hanya menyaksikan pergelaran ‘’proyek kesenian dalam rangka’’ yang jauh dari niat luhur dan moral manusia yang benar-benar berniat membangun peradaban lewat seni budaya daerah. 

Akibatnya, aneka perhelatan seni-budaya yang disajikan, tak lebih dari ‘’perselingkuhan’’ untuk menghabiskan dana proyek sesuai tahun anggaran. Selebihnya: sunyi dan sebentuk fatamorgana.
Yang belakangan mengemuka di Sulut adalah banyaknya politisi yang sok peduli dengan kelompok-kelompok kesenian. Mereka tampil seolah-olah mengedepankan keberpihakan pada kesenian yang terpinggirkan. Celakanya, banyak kelompok kesenian yang masuk perangkap para ‘’petualang’’ itu. Mereka (kelompok kesenian) baru sadar, terjadi pengangkangan eksistensi mereka ketika sang politisi mencapai tujuannya; meraih kursi kekuasaan, dan mereka kembali dipinggirkan.

Dalam konteks inilah kita melihat secara terang-benderang apa yang dilakukan Mamoto dengan para ‘petualang’’ tadi, sangat berbeda. Mamoto hadir dengan gagasan cerdas dan niat tulus, dengan karya swadaya dan nyata, tanpa dibungkus akal bulus: meraih dukungan atau simpati massa untuk merebut kursi kekuasaan, misalnya. Ia hadir dan meretas tirani kekuasaan yang selama ini mengangkangi dunia seni-budaya dalam rangka tujuan dan kepentingan politik tertentu.

Bagi saya merupakan cermin besar. Di sana kita bisa melihat ‘’bayangan’’ niat luhur yang menyembul dari relung nurani Mamoto: sebuah perjuangan hakiki mempertahankan eksitensi tradisi dan pernik-pernik seni-budaya leluhurnya, di tanah Toar Lumimuut. Buku ini juga menjadi ‘’penuntun’’ bagi kita, manusia ‘’Merah Putih’’ yang mengaku memiliki peradaban, agar tidak tersesat ke lorong-lorong kegelepan hidup dan kehidupan.


Ruang Perawatan, Desember 2009
Axel Galatang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat Sangihe: Madunde Dan Pahawo

Pelurusan Sejarah Manado

Tari Mahamba Bantik